Saturday, June 16, 2007

Bahasa Daerah-Bahasa Leluhur Semakin Uzur



Dua Siswa SD Membaca Buku pada Acara "Hari Anak Jakarta Membaca" (Antara/Str-Fauzi)Bahasa menunjukkan bangsa. Begitu pepatah lama. Sebuah teori mengatakan, dalam bahasa terkandung substansi budaya. Bahasa dipandang sebagai refleksi identitas paling kokoh sebuah kultur masyarakat. Ia pengikat yang amat kuat untuk mempertahankan eksistensi budaya dan entitas tertentu.

Sayangnya, kini banyak bahasa daerah masuk zona kuning menuju kepunahan. Bahkan ada bahasa daerah di Tanah Air yang punah. Globalisasi mengakibatkan pengaburan identitas suatu etnis, yang ditandai dengan kehadiran bahasa-bahasa dunia yang mendominasi.

Persoalan itu diungkapkan Prof. Dr. Arief Rachman dalam pidato pengukuhan guru besarnya dalam bidang ilmu pendidikan bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Dalam orasi ilmiah berjudul "Kepunahan Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya", Prof. Arief memberi peringatan dini perihal semakin menyempitnya peran bahasa daerah.

Pakar pendidikan kelahiran Malang, Jawa Timur, 19 Juni 1942, itu menyatakan bahwa dominasi bahasa asing dan bahasa nasional secara langsung mendesak mundur bahasa-bahasa lokal. Bila hal itu terus berlangsung, bahasa daerah akan tersisih dan akhirnya musnah. Kepunahan bahasa-bahasa daerah tersebut akan diikuti dengan hapusnya suatu budaya.

Hilangnya suatu budaya biasanya satu paket dengan lenyapnya nilai-nilai masyarakat. Pada tahap berikutnya, dan yang paling parah, adalah hilangnya masyarakat itu sendiri. Sebuah studi yang dilakukan UNESCO pada 2001 menyebutkan, belakangan ini 90% penduduk dunia hanya menggunakan 4% bahasa yang ada. Berbagai bahasa minoritas, yang jumlahnya 96% dari bahasa yang pernah dikenal, hanya dituturkan oleh 10% penduduk dunia.

Buku Atlas of the Worlds Languanges in Danger of Disappearing karya Stephen A. Wurm menyatakan, potensi kepunahan bahasa-bahasa daerah itu terjadi sangat cepat tanpa disadari. Sejauh ini, bahasa-bahasa minoritas di dunia telah menunjukkan tren semakin tersudut oleh hegemoni bahasa yang dianggap universal, misalnya bahasa Inggris, dan bahasa resmi di masing-masing negara.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Buku Ethnologue yang terbit tahun 2005 menyebutkan, di seluruh pelosok Nusantara tercatat ada 742 bahasa daerah. Bahasa daerah terbanyak berada di kawasan Papua Barat. Jumlahnya 271 macam. Lainnya tersebar di lebih dari 30 provinsi di Tanah Air. Studi itu menunjukkan bukti punahnya beberapa bahasa lokal di Indonesia.

Di Kalimantan, misalnya, ada satu dari 50 bahasa yang tak lagi digunakan. Di Sumatera, kepunahan dialami satu dari 13 bahasa yang ada. Dua bahasa lainnya kritis. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap, sementara 36 yang lain dalam ancaman besar. Di Timor, Flores, Bima, dan Sumba, tercatat ada 50 bahasa yang masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam.

Di Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, kini ada 56 bahasa yang hampir punah. Yang tergolong tahan banting adalah bahasa daerah di Pulau Jawa. Tidak disebutkan jumlah bahasa di pulau ini. Namun tak satu pun memenuhi unsur ancaman kepunahan.

Bahasa dengan risiko punah diistilahkan sebagai endangered language. Indikatornya, apabila pemakainya sudah berhenti total atau masih dipakai orangtua, tetapi tidak diturunkan kepada generasi berikutnya. Terpojoknya bahasa daerah disebut sebagai efek niscaya dari globalisasi.

Dominasi bahasa resmi pada jenjang pendidikan formal menggiring anak-anak berpersepsi bahwa bahasa tersebut superior dibandingkan dengan bahasa ibunya. Lama-kelamaan hal itu mengikis kebanggaan menggunakan bahasa leluhurnya, yang diangap sebagai bahasa yang sudah uzur.

Dalam konteks Indonesia, menurut Prof. Arief, belum ada bukti yang dapat dikemukakan bahwa bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris telah menyisihkan kedudukan bahasa daerah. Namun tertangkap kecenderungan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk kepentingan tertentu yang melemahkan posisi bahasa daerah. "Untuk hal ini, perlu diadakan penelitian lebih lanjut," katanya.

Di Indonesia, bahasa daerah secara hukum relatif terlindungi. Ada dua kekuatan yang memayungi eksistensi bahasa daerah. Dalam UUD 1945 Pasal 36 disebutkan, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah yang masih digunakan penuturnya, karena bahasa tersebut merupakan bagian dari kebudayaan indonesia yang hidup. Lalu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah provinsi wajib melakukan pembinaan bahasa daerah.

Hanya saja, secara de facto, penutur bahasa daerah tetap saja menyusut. Ilmuwan Jon Reyner membagi delapan tingkat situasi sebuah bahasa. Bahasa yang kuat ditandai dengan pemakaian pada tata pemerintahan, pendidikan, dan media massa. Sedangkan bahasa yang lemah ditandai dengan mengecilnya jumlah penutur. Penggunaan bahasa di tempat kerja dalam sebuah lingkungan khusus dinilai sebagai indikator baik bagi kelangsungan sebuah bahasa.

Prof. Arief Rahman, yang melakukan penelitian kecil atas 200 siswa dari enam sekolah menengah atas di Jakarta, mencatat bahwa 90% respondennya mengaku bangga menggunakan bahasa daerah. Namun mereka tidak ingin bahasa daerah menjadi pelajaran di sekolah. "Ini positif, bahasa daerah lebih bagus menjadi pengantar, bukan bidang studi," Prof. Arief menegaskan.

Ia menyebut Jakarta sebagai tempat yang gersang bagi bahasa lokal. Penyebabnya adalah kultur yang multietnik. Banyak anak yang orangtuanya dari suku berbeda. "Kalau begini, hampir pasti si anak kesulitan mengenali bahasa ibunya," ujar Prof. Arief. Hal itu secara signifikan akan mengikis jumlah penutur bahasa daerah di Jakarta.

Kepunahan bahasa itu, kata Prof. Dr. Budi Dharma, adalah sebuah keniscayaan. "Yang terlebih dahulu akan punah bahasa tulisnya," kata guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Surabaya itu. Jangka waktu kepunahannya tergantung kemampuan bahasa itu bertahan.

Di Indonesia, menurut Prof. Budi, tersisihnya bahasa lokal terjadi karena beberapa komunitas melebur secara kompromistik. Ia mencontohkan yang terjadi di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Dahulu, di sana banyak bahasa kecil. Menyeberang sungai saja, bahasanya sudah berbeda. Untuk mencapai kompromi agar tidak salah paham, mereka lalu menggunakan bahasa Melayu.

Dalam konteks global juga begitu. Bahasa Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei punya gaya yang berbeda. Supaya tidak salah paham, lebih aman menggunakan bahasa Inggris. "Situasi inilah yang membuat bahasa mayoritas cenderung menjadi ekspansif," kata Budi Dharma pula.

Lagi pula, masih menurut Prof. Budi, bahasa mayoritas dipakai oleh negara ataupun suku-suku besar. "Bahasa tidak mungkin dilepaskan dari kekuasaan," katanya. Kini kekuatan ekonomi, politik, serta pertahanan ada di Eropa dan Amerika. "Makanya, bahasa Inggris mendominasi."

Sejarah membuktikan, bahasa terus bergeser mengikuti arah kekuasaan, dari zaman Romawi kuno, Prancis, lalu Inggris. Bahasa Prancis yang berjaya pada abad ke-17 sejatinya merupakan bahasa Latin yang sudah rusak. Para pengamat bahasa Romawi kuno menyebutnya begitu. Namun ketika itu bahasa Prancis amat dominan dan terhormat. Ilmuwan masa itu cenderung memakai bahasa Prancis dalam karya-karya tulisnya.

Dalam konteks lokal, menurut Budi Dharma, bahasa Jawa akan relatif lebih kuat bertahan. "Ia diuntungkan secara geografis dan didukung penguasa," kata Prof. Budi, yang juga menyatakan bahwa bahasa yang kuat adalah bahasa yang mampu mendinamisasi diri.

Bahasa Inggris, katanya, telah mengalami dinamisasi sehingga sudah berubah dari gaya penutur aslinya di Inggris. Di Indonesia, ia melihat ada kemampuan mendinamisasi diri pada sebagian bahasa daerah. Bahasa Jawa, misalnya, banyak terkontaminasi oleh bahasa Melayu. "Memang ada yang beranggapan hal itu dapat merusak. Namun sesungguhnya itulah yang membuatnya bertahan," Prof. Budi Dharma menegaskan.

No comments: